Membaca Malahayati Srikandi dari Aceh

Tucer
5 min readApr 12, 2020

--

oleh Solichin Salam

Beberapa orang yang saya temui, ketika disebutkan nama "Malahayati", kerap merasa asing dengan nama tersebut

lalu kita bertanya-tanya siapakah Malahayati yang ingin kita bicarakan? adakah yang pernah membaca kesehariannya? atau barangkali ceritanya hanya mampu kita reka melalui tulisan para pengelana yang telah lebih dahulu ada?

Solichin Salam dengan karyanya "Malahati Srikandi dari Aceh" yang terbit pada tahun 1995, mampu membukakan mata kita pada satu sosok perempuan tangguh nan berani yaitu Keumalahayati.

Pada abad Ke-16 sejarah Aceh mencatat pernah melahirkan seorang tokoh wanita bernama Keumalahayati atau yang lebih dikenal Malahayati. Adapun nama Keumala dalam bahasa Aceh itu sama dengan Kemala yang berarti sebuah batu yang indah dan bercahaya, banyak khasiatnya dan mengandung kesaktian.

Laksamana Keumalahayati atau akrab dipanggil Laksamana Malahayati adalah pahlawan dari tanah rencong (Aceh), yang telah menorehkan tinta perjuangan dengan nilai-nilai juangnya hingga mampu diakui oleh negara sebagai sosok wanita yang berusaha mempertahankan tanah kelahirannya dari penjajahan, sebagai seorang Laksamana perempuan pertama bukan saja di Indonesia melainkan di dunia modern.

Negara Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau, dimana 2/3 terdiri dari lautan dan 1/3 adalah daratan, secara alamiah mendorong Indonesia sebagai negara maritim. Oleh sebabnya tidak heran kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Gowa pernah memiliki armada laut yang kuat.

Sejarah menunjukkan, bahwa di ujung barat kepulauan Nusantara pernah lahir sebuah Kerajaan Islam Aceh Darussalam, tercatat merupakan satu dari lima kerajaan islam yang besar di dunia pada zamannya.

Agama Islam datang ke Aceh pada abad ke-7 M. Dapat terlihat dalam sejarah kemudian berdirinya kerajaan-kerajaan islam yaitu :
• Kerajaan Islam di Perlak 225H/847 M dengan rajanya Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah
•Kerajaan Islam di Samudra Pasai 1042 M dengan rajanya Maharaja Mahmud Syah
•Kerajaan Aceh Darussalam 601 H/1205 M dengan rajanya Sultan Johan Syah.

Aceh dihuni oleh 3.422.693 jiwa yang pada umumnya terdiri dari ras Melayu, telah banyak sumber menyebutkan bahwa orang aceh merupakan campuran dari beberapa etnis yang juga adalah perpanjangan dari nama ACEH itu sendiri

A = Arab
C = Cina
E = Eropah
H = Hindia (India)

Adapun Nama Aceh yang berasal dari kata Acih dari bahasa Keling, yang berarti Kakak. Disamping itu ada pula yang menyatakan bahwa nama Aceh berasal dari kata Aca yang berarti Indah. Dari kata Acih dan Aca ini kemudian berubah menjadi Aceh.

Aceh sudah sejak lama dikenal dalam sejarah dan menarik perhatian para sarjana baik dari Barat maupun Timur. Sehingga mereka tak hentinya melakukan penelitian tentang aceh, Ibarat sebuah mata air, Aceh tak pernah kering dari sumber sejarah.

Dalam catatan sejarah aceh telah banyak memberikan contoh perempuan yang juga mampu berperan dalam berbagai bidang, pada abad ke-14 kita mengenal :
• Puteri Lindung Bulan yang memerintah Negeri Benua Tamieng (1353-1398)
•Sultahan Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu sebagai Sultanah terakhir dari kerjaaan Islam Samudera Pasai pada yang memerintah selama 28 tahun (1400-1428)
•Puteri Pahang sebagai penasihat sultan (1617)
•Panglima perang wanita, Laksamana Keumalahayati, Teungku Fakinah, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Pocut Meurah Intan, Pocut baren dan Teungku Fatimah.

Dari data tersebut telah menunjukan bahwa pelaksanaan emansipasi wanita di Aceh telah berlangsung dalam praktik sejarah lama dalam abad ke-15, bukan lagi dalam slogan perjuangan ataupun teori. Hal ini pernah diangkat ke permukaan untuk membuktikan kepada Dunia, bahwa sudah sejak lama Bangsa kita telah memberikan ruang berekspresi wanita, memberi kesempatan kaum wanita sejajar dengan kaum pria, jauh sebelum Barat berjuang untuk emansipasi kaum wanita.

Dalam perjalanan sejarah di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, Aceh pernah memiliki seorang Laksamana wanita yang dengan penuh ketangguhan dan keberaniannya bernama Laksamana Keumalahayati atau yang akrab dikenal Laksamana Malahayati.

adalah sosok tangguh berdarah biru, ayahnya Laksamana Mahmud Syah merupakan keturunan dari pendiri Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530). Jiwa baharinya diturunkan oleh ayah dan kakeknya yang juga merupakan Laksamana Angkatan Laut.

Malahayati memasuki akademi militer buatan Kerajaan Aceh Darussalam dengan bantuan Turki, yang pada akhirnya ia menjadi perwira muda Akademi Militer jurusan laut, hingga menemukan tambatan hatinya, berakhir sampai ke tempat pelaminan. sejarah mencatat keduanya adalah pasangan suami istri alumni dari Akademi Militer yang menjadi Perwira Tinggi AL Aceh yang gagah berani dalam setiap pertempuran melawan armada Portugis. Hingga pada akhirnya Keumalahayati diangkat sebagai Komandan Protokol Istana Darud Dunya dari kerajaan Aceh Darussalam oleh Sultan Alaiddin Riyat Syah Al Mukammil (1589-1604).

Pada Masa Pemerintahan Sultan Alaiddin Riyat Syah Al Mukammil (1589-1604) terjadi pertempuran Teluk Haru yang berakhir hancurnya armada Portugis yang juga menewaskan 2 orang laksamana Aceh yang salah satunya adalah suami Keumalahayati, bersama 1000 prajurit syahid sebagai kusuma bangsa.

Malahayati tidak mampu duduk diam mengetahui suaminya telah gugur dalam perang, karena melihat adanya kesamaan nasib, akhirnya ia membentuk pasukan perang para janda yang telah ditinggalkan para suaminya dalam perang Teluk Haru bernama "Inong Balee", dengan beranggotakan 1000 orang dan bertambah mencapai 2000 orang prajurit para janda. Pangkalan Armada Inong Balee berada di atas perbukitan yang tingginya 100 mdpl, yang menghadap ke Teluk Kreung Raya.

Pada tanggal 21 Juni 1599 datanglah kapal yang dipimpin oleh dua bersaudara Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman memasuki pelabuhan Banda Aceh, pada awalnya hubungannya baik-baik saja, lambat laun semua berubah, hingga pada akhirnya terjadilah duel satu lawan satu antara Malahayati dengan Cornelis de Houtman.

Pasukan para janda yang dipimpin oleh Malahayati mampu membuat Cornelis de Houtman kewalahan, dan Cornelis de Houtman tak mampu menyelamatkan nyawanya, akhirnya pertempuran ini dimenangkan oleh Malahayati.

Sejak saat itulah Malahayati disematkan gelar Laksamana atas jasanya. Lalu merebaklah namanya setelah berabad kematiannya, namanya disebut-sebut dan perjalanannya diungkit-ungkit, pertemuan penting yang juga dihadiri orang-orang penting pada 9 November 2017, melalui Keputus Nomor 155/TK/Tahun 2017 tentang penganugerahan Gelar Pahlawan, Presiden Joko Widodo mengangerahi gelar Pahlawan Nasional kepada sosok Malahayati.

demikianlah selayang pandang atas bacaan buku "Malahayati Srikandi dari Aceh", kita patut berbangga memiliki pahlawan yang mengharumkan bangsa, mempertahankan tanah tercinta Indonesia, semoga dapat menjadi pelajaran untuk kita semua.

seorang filsuf Jerman bernama Arthur Schopenhauer (1788-1860) pernah mengatakan :

"Only through history does a nation become completely conscious of itself"

(Hanya melalui sejarahlah suatu bangsa dapat sepenuhnya sadar akan dirinya sendiri)

terima kasih kepada teman-teman yang meluangkan waktunya untuk membaca booble chat serta bertukar pikiran di rubrik ini.

Akhirul kalam

اَلْحَـقُّ مِنْ رَّبِّكَ فَلَا تَكُنْ مِّنَ الْمُمْتَرِيْنَ

"Kebenaran itu dari Tuhanmu, karena itu janganlah engkau (Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu."
(QS. 3:60)

Tabik.

Feby Feyne.

Jakarta, Minggu 12 April 2020.

--

--

Tucer
Tucer

Written by Tucer

Berpikir historis, bergerak taktis.

No responses yet